Belajar Firman Tuhan dengan Alkitab sebagai dasar.
“Lebih Baik Ia Tidak Dilahirkan”: Luka Yesus, Tragedi Yudas, dan Gugatan terhadap Eksistensi 💔
Ia duduk di meja terakhir. Ia menerima roti dari tangan yang sebentar lagi akan dipaku. Ia dicintai, dibasuh, dipercaya. Tapi ia tetap memilih gelap. Maka Yesus berkata (bukan sebagai kutukan), tapi sebagai ratapan : “lebih baik ia tidak dilahirkan”.
“Anak Manusia memang akan pergi sebagaimana ada tertulis tentang Dia, tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” (Matius 26:24)
Kalimat itu bukan metafora. Bukan pula idiom yang dipoles. Itu adalah pengakuan bahwa eksistensi bisa menjadi lebih tragis daripada ketiadaan, jika kebebasan tidak dipakai untuk kembali kepada terang.
Yesus tidak sedang berdebat tapi menggugat. Ia tahu penyesalan Yudas akan berakhir dengan bunuh diri. Oleh karenanya, kalimat itu bukan penghakiman. Ini adalah ratapan terhadap eksistensi yang menolak terang meski sudah hidup di dalamnya selama tiga tahun.
I. Idiom Rabinik yang Diguncang oleh Luka
Kalimat “lebih baik ia tidak dilahirkan” bukan merupakan sesuatu yang baru. Dalam Talmud Eruvin 13b, para rabi berdebat:
“Lebih baik manusia tidak diciptakan daripada diciptakan.” Akhirnya mereka menyimpulkan: jika sudah diciptakan, biarlah ia memeriksa perbuatannya.
— Talmud Eruvin 13b
Dalam tradisi Yahudi, terutama pada masa Yesus, ada idiom-idiom seperti:
“Lebih baik ia tidak dilahirkan” (malon ei mn gennaesthai)
“Celakalah orang ini” (*’oy le-…)
Idiom semacam ini biasa dipakai dalam Talmud atau literatur rabinik untuk menegaskan akibat moral atau spiritual dari dosa besar dan bukan kutukan spontan. Contoh dalam Talmud, meski tidak persis sama, sering muncul pernyataan ekstrem: “Lebih baik ia tidak pernah ada” untuk kasus pengkhianatan atau pelanggaran serius terhadap hukum Tuhan.
Di sini, Yesus menggunakan idiom ini dalam struktur Yunani yang lebih spesifik dan tidak dimaksudkan untuk berdebat. Perkataan-Nya ini merupakan perkataan profetik, dengan makna teologis dan eksistensial yang dalam.
“Sebab itu perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” (Efesus 5:15-16)
Yesus memakai idiom ini sebagai ratapan karena Ia melihat langsung bagaimana kasih bisa ditolak, bagaimana kedekatan bisa gagal menyelamatkan, dan bagaimana kebebasan bisa dipakai untuk menghancurkan diri sendiri.
Dalam konteks Perjamuan Terakhir, idiom itu tidak lagi menjadi tanda tanya filosofis tentang nilai eksistensi manusia secara umum. Idiom ini kini berubah menjadi tangisan eksistensial terhadap seseorang yang sudah dikenal, dicintai, dan diselamatkan, namun tetap memilih kehancuran.
II. Tiga Momen Retoris: Strategi Momentum Yesus
Yesus tidak pernah asal bicara Perkataan-perkataan-Nya sering merupakan pengajaran yang mengguncang. Tiga momen ini membuktikan pengajaran Yesus pada saat yang tepat merupakan strategi momentum yang justru akan membawa pemahaman baru pada sistem dan individu sekaligus:
🌳 Pohon Ara (Markus 11:12–14)
“Pada keesokan harinya sesudah mereka keluar dari Betania, Yesus merasa lapar. Dan dari jauh Ia melihat pohon ara yang sudah berdaun. Ia mendekati pohon itu untuk melihat kalau-kalau ada buahnya. Tetapi waktu Ia tiba di situ, Ia tidak mendapat apa-apa selain daun-daun saja, sebab memang bukan musim buah ara. Maka berkatalah Yesus kepada pohon itu: ‘Jangan lagi seorangpun makan buahmu selama-lamanya!’”
Markus 11:12–14
Kutukan terhadap pohon yang berdaun lebat namun tidak berbuah. Ini adalah simbol sistem rohani yang tampak hidup tapi sebenarnya mati. Kemarahan Yesus bukan pada pohon itu sendiri, melainkan pada kemunafikan spiritual yang diwakilinya.
→ Yesus menggunakan simbol alam untuk mengritik sistem religius yang gagal berbuah.
🕊️ Perempuan Kanaan: (Matius 15:21–28)
“Tetapi Yesus menjawab: ‘Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.’
Tetapi perempuan itu berkata: ‘Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.’”
Matius 15:26–27
Ucapan “tidak patut mengambil roti anak-anak dan memberikannya kepada anjing kecil” sebagai pengujian iman yang membuka ruang bagi inklusi lebih jauh.
→ Yesus sengaja menggunakan kalimat retorik eksklusi untuk membuka pintu inklusi yang lebih luas.
🕯️ Yudas (Matius 26:24)
“Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang tertulis tentang Dia, tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia diserahkan. Lebih baik bagi orang itu seandainya ia tidak dilahirkan.”
Sebuah ratapan eksistensial, bukan kutukan, tentang kebebasan seseorang yang lebih memilih kehancuran.
Matius 26:24
→ Yesus tidak sedang menguji,juga tidak sedang mengutuk, tapi memberi pengakuan tragis bahwa eksistensi bisa menjadi saluran kehancuran diri.
Ketiga momen ini menunjukkan bahwa Yesus tidak pernah menggunakan kata-kata keras secara sembarangan. Setiap ungkapan ekstrem-Nya memiliki makna profetis yang spesifik.
Yesus sering memakai bahasa tegas dan idiomatis untuk menyampaikan pesan moral dan rohani kepada pendengar-Nya dalam konteks budaya Yahudi saat itu. Jadi, penggunaan frasa tersebut adalah meminjam ungkapan kuat yang sudah ada untuk menegaskan penghakiman ilahi tanpa bermaksud mengutuk secara harfiah.
Dengan demikian, frasa tersebut dapat dipahami sebagai ekspresi retoris atau idiom, bukan kutukan literal yang secara personal ditujukan untuk menghancurkan seseorang. Ini mencerminkan cara komunikasi yang khas dalam konteks Yahudi pada masa Yesus, yang memanfaatkan idiom dan ungkapan populer untuk menyampaikan kebenaran yang diinginkan.
III. Kisah Pengkhianatan: Dari Kedekatan ke Kehancuran
Tragedi Yudas bukan terletak pada tindakan pengkhianatannya semata, melainkan pada paradoks eksistensialnya, yaitu:
Kedekatan tanpa Transformasi
“Yesus memilih dua belas orang dari mereka, yang disebut-Nya rasul… dan Yudas Iskariot yang menjadi pengkhianat.” (Lukas 6:13,16)
Yudas hidup dalam lingkaran terdekat Yesus selama tiga tahun. Ia menyaksikan mujizat, mendengar pengajaran, bahkan dipercaya mengelola kas kelompok kecil itu. Namun kedekatan guru dan murid itu tidak selaluvmenghasilkan transformasi spiritual.
Pengetahuan tanpa Pengenalan
“Lalu datanglah Yudas Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu… Maka ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus kepada mereka.” (Markus 14:10-11)
Yudas tahu siapa Yesus. Ia bahkan menyebutnya “Rabbi” hingga malam terakhir. Tapi pengetahuan teologis itu tidak pernah menjadi pengenalan personal yang mengubah hati.
Kesempatan tanpa Pertobatan 💧
“Kemudian bangunlah Yesus dari tempat makan dan menanggalkan jubah-Nya. Lalu Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya.” (Yohanes 13:4-5)
Bahkan di momen-momen terakhir, Yesus masih membuka pintu. Ia membasuh kaki Yudas. Ia memberikan sepotong roti kepadanya. Ia tidak menyingkap identitasnya di hadapan murid-murid lain. Tapi semua kesempatan itu ditolak.
Inilah mengapa kalimat “lebih baik ia tidak dilahirkan” terasa mengguncang. Sejatinya, perkataan Yesus ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia, dengan segala kesempatan dan anugerahnya, bisa berubah menjadi instrumen kehancuran diri yang sistematis.
IV. Menolak Teologi Fatalistik
Mengenai Yudas ini, ada sebuah pernyataan populer yang mengatakan bahwa “tanpa Yudas tidak akan ada penyaliban” . Ini tidak benar karena merupakan reduksionisme teologis yang berbahaya. Rencana Allah tidak bergantung pada kejahatan Yudas. Allah bisa memakai siapa saja, bahkan kehancuran sekalipun, untuk menggenapi maksud penebusan-Nya.
“Kamu telah bermaksud jahat terhadap aku, tetapi Allah membalikkannya menjadi kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kejadian 50:20)
“Dalam diri Yudas, kita melihat manusia yang secara radikal menolak anugerah Allah.
Dia adalah cermin gelap dari penolakan manusia terhadap penebusan yang ditawarkan dalam Kristus.”
Karl Barth (Teolog Neo-Ortodoks)
Yudas bukan syarat keselamatan. Ia adalah cermin tragis dari kebebasan yang tidak dipakai untuk kembali.
Jika kita menerima logika fatalistik itu, maka kita secara tidak langsung:
Menjadikan kejahatan sebagai bagian yang diperlukan dalam rencana Allah
Mengurangi tanggung jawab moral Yudas atas pilihan hidup yang ditempuhnya
Mengabaikan kesempatan-kesempatan pertobatan yang terus diberikan Yesus
Tindakan pengkhianatan Yudas bukan pembenaran dalam narasi keselamatan, melainkan alarm terhadap eksistensi yang gagal menjalankan panggilan dasarnya sebagai seorang murid. Yesus mengetahui kalau nantinya Yudas akan melakukan pengkhianatan. Namun demikian, pengetahuan-Nya ini tidak mengeliminasi kebebasan Yudas. Ketika Yesus berkata:
“Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa.” (Yohanes 10:27-29)
Yesus sedang berbicara tentang jaminan keselamatan bagi mereka yang benar-benar percaya. Ini bukan tentang determinisme yang menghapus pilihan moral.
V. Ratapan yang Menggugat Sistem
Kalimat “lebih baik ia tidak dilahirkan” ini memiliki makna luar biasa karena memang dimaksudkan untuk mengguncang kita dari ilusi bahwa kedekatan dengan kebenaran otomatis menghasilkan keselamatan.
“Sebab semua orang yang melakukan kejahatan membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya jangan nampak.” (Yohanes 3:20)
Gugatan terhadap Sistem Rohani Bagaimana mungkin seseorang hidup selama tiga tahun di bawah pengajaran langsung Yesus, namun tetap tidak berubah? Ini menggugat sistem pembentukan rohani yang hanya menekankan paparan terhadap kebenaran tanpa transformasi karakter yang mendalam.
“Jadi setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Matius 7:19)
Gugatan terhadap Teologi Kedekatan Yudas menunjukkan bahwa kedekatan fisik dan fungsional dengan yang kudus tidak sama dengan kedekatan spiritual. Seseorang bisa menjadi “orang dalam” secara institusional namun tetap “orang luar” secara eksistensial.
“Pada hari terakhir nanti banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Matius 7:22-23)
Gugatan terhadap Kebebasan Tanpa Pertanggungjawaban Tragedi Yudas menolak keras paham kebebasan sebagai hak tanpa konsekuensi. Kebebasan sejati adalah kapasitas untuk memilih kebaikan, bukan sekadar kemampuan untuk memilih apa pun.
Yesus tidak menghakimi pengkhianatan Yudas dengan perkataan, “Ia layak dihukum!” Sebaliknya, Yesus sedang mengungkapkan fakta bahwa eksistensi Yudas sendiri telah menjadi tragedi. Dan itu adalah ratapan kasih yang dikhianati, bukan kutukan dari kejauhan.
VI. Dimensi Kristologis: Yesus sebagai Manusia Penuh
Sering kali kita melupakan bahwa dalam momen ini, Yesus sedang berbicara sebagai manusia penuh yang mengalami luka pengkhianatan oleh orang terdekat-Nya. Yesus sedang menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang Ia cintai memilih untuk menghancurkan dirinya sendiri.
“Yesus sangat terharu dalam roh-Nya dan berkata: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.’ Murid-murid itu saling pandang-memandang, karena mereka tidak tahu kepada siapa Ia menunjuk.” (Yohanes 13:21-22)
Yesus yang Berduka Sebagai manusia, Yesus punnmerasakan apa yang dirasakan oleh manusia layaknya. Ia bisa merasa sedih, kecewa, dan bahkan marah terhadap kejahatan.
“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menanggung kesakitan; Ia sangat dihina, sehingga orang menyembunyikan muka terhadap Dia, dan bagi kitapun Dia tidak masuk hitungan.” (Yesaya 53:3)
Luka yang Tidak Bisa Disembuhkan Dokrin Ada jenis luka yang tidak bisa disembuhkan dengan penjelasan teologis. Luka pengkhianatan oleh sahabat dekat adalah salah satunya. Kalimat tentang Yudas lahir dari luka semacam itu, yaitu: luka yang hanya bisa diratapi, bukan dijelaskan.
VII. Implikasi Modern: Cermin bagi Gereja Modern
Kisah Yudas tidak berakhir di Perjamuan Terakhir. Ia terus berulang dalam sejarah gereja dan kehidupan rohani kontemporer:
Fenomena “Yudas Institusional” Orang-orang yang hidup lama dalam sistem gereja, mengenal doktrin dengan baik, bahkan memegang posisi kepemimpinan, namun tidak pernah mengalami transformasi sejati. Mereka merasa “orang dalam” yang sebenarnya adalah “orang luar” dalam kehidupan rohaninya.
“Mereka mengaku mengenal Allah, tetapi dengan perbuatan mereka, mereka menyangkal Dia. Mereka keji dan durhaka dan tidak tahu berbuat baik.” (Titus 1:16)
Kedekatan Tanpa Keintiman Banyak orang Kristen modern yang aktif dalam pelayanan dan ibadah, namun masih menjalani hidup yang terpisah dari karakter Kristus. Mereka dekat secara ritual, namun jauh secara eksistensial.
“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” (Matius 15:8-9)
Pengetahuan Tanpa Transformasi 📚 Era informasi telah menghasilkan generasi orang Kristen yang tahu banyak tentang Alkitab dan teologi, namun tidak mengalami perubahan fundamental dalam cara hidup, prioritas, dan karakter.
“Pengetahuan menyombongkan, tetapi kasih membangun.” (1 Korintus 8:1)
Kalimat Yesus ini seharusnya menjadi pertanyaan yang mengganggu bagi kita semua: “Sudahkah kedekatan kita dengan Kristus menghasilkan transformasi sejati? Atau kita hanya menjadi Yudas versi baru, dekat namun tidak berubah?”
VIII. Penutup:
Yesus tahu Yudas tidak akan pulang. Tapi Ia tetap membasuh kakinya dengan lembut. Tetap memberinya sepotong roti sebagai tanda persahabatan. Tetap menyebutnya “sahabat” bahkan di taman Getsemani:
“Lalu berkatalah Yesus kepadanya: ‘Hai sahabat, untuk apakah engkau datang?’ Maka majulah mereka memegang Yesus dan menangkap Dia.” (Matius 26:50)
Yesus terluka oleh perbuatan Yudas dan luka itu tidak bisa disembuhkan dengan penjelasan belaka. Luka Yesus ini seharusnya bisa membangun kesadaran diri bahwa kitapun berpotensi menjadi Yudas. Merasa hidup dalam terang tanpa menyadari bahwa kita masih menyimpan ambisi gelap di sudut-sudut hati layaknya Yudas.
Renungan ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak nyaman bagi anda dan saya:
Bagaimana mungkin kedekatan dengan yang kudus tidak menghasilkan kekudusan?
Mengapa pengetahuan tentang kebenaran tidak selalu berujung pada kehidupan yang benar?
Apakah kita juga hidup dalam kedekatan ritual namun kejauhan eksistensial dengan Kristus?
“Karena itu, saudara-saudaraku, kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih lagi sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allah juga yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:12-13)
Gugatan yang Tidak Berakhir 🔥 Kisah Yudas ini menggugat kita semua yang merasakan kenyamanan akan kedekatan tanpa keintiman, dengan pengetahuan tanpa pengenalan, dengan ritual tanpa transformasi.
Karena pada akhirnya, kalimat “lebih baik ia tidak dilahirkan” bukan hanya tentang Yudas Iskariot yang hidup dua ribu tahun lalu. Ia adalah cermin yang terus memantulkan wajah kita sendiri. Menanyakan apakah eksistensi kita membawa berkat atau justru menjadi instrumen kehancuran, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
“Karena itu barangsiapa menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!” (1 Korintus 10:12)
Ratapan Yesus atas Yudas adalah ratapan yang terus bergema dan masih menunggu respons kita yang tidak bisa ditunda supaya tidak berakhir dengan penyesalan.
Lebih Baik Ia Tidak Dilahirkan: Luka Yesus, Tragedi Yudas