Kisah anak yang hilang dalam Lukas 15:11-32 adalah salah satu perumpamaan Yesus yang paling dikenal. Perumpamaan ini menggambarkan kasih Allah yang luar biasa bagi orang berdosa yang bertobat, yang diwakili oleh anak bungsu. Namun, sering kali bagian tentang anak sulung (ayat 25-32) kurang mendapat perhatian. Padahal bagian ini justru menyimpan pelajaran mendalam bagi orang Kristen masa kini
Dalam konteks Lukas 15:1-2, anak sulung melambangkan sikap orang Farisi yang menganggap diri mereka sudah benar karena ketaatan mereka. Anak sulung mencerminkan orang percaya yang merasa hidup kekristenannya sudah cukup, namun tanpa kesadaran untuk melangkah lebih jauh dalam iman.
Kita akan belajar sisi anak sulung, dan menghubungkannya dengan bagaimana mengubah pola pikir kita sebagai umat pemenang di dalam Kristus. Ingatlah selalu bahwa bersama Kristus kita adalah pemenang apapun tantangan di hadapan kita, apapun musim kehidupan yang kita jalani. Perjuangan kita sekarang adalah mempertahankan kemenangan bersama Kristus yang sudah kita dapatkan itu.
1️⃣ Latar Belakang Kisah Anak yang Hilang
Dalam Lukas 15:1-2, Yesus menyampaikan perumpamaan ini kepada orang Farisi dan ahli Taurat yang memprotes karena Ia bergaul dengan orang berdosa. Perumpamaan anak yang hilang memperlihatkan dua karakter utama:
➡️ Anak bungsu: mewakili orang berdosa yang bertobat.
➡️ Anak sulung: mencerminkan orang Farisi yang merasa diri benar karena taat pada hukum.
Ketika anak bungsu kembali, ayahnya menyambut dengan pesta besar. Reaksi anak sulung sangat kontras. Ia marah dan menolak masuk (ay. 25-28). Keluhannya (ay. 29-30) mengungkapkan perasaan tidak dihargai meskipun ia selalu setia.
Namun jawaban ayahnya menjadi kunci pengajaran utama: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu” (Lukas 15:31). Masalahnya bukanlah sang ayah yang tidak peduli, tetapi si anak sulung yang lupa akan identitas dan otoritasnya. Kisah ini sangat relevan di zaman ini. Banyak orang Kristen masih berpola pikir mengapa mereka mengalami kekalahan dan harus terus berjuang dalam peperangan rohani yang mereka alami. Ini membuat mereka hidup dalam ketakutan, seakan-akan iblis selalu mengintai.
Padahal Kolose 2:15 menegaskan bahwa Kristus sudah melucuti semua kuasa lawan yaitu si iblis. Fokus kepada anak sulung akan menolong kita melihat sisi lain apa yang membuat stagnasi iman kita. Penyebabnya adalah ketidakmengertian akan posisi kita dan kemenangan yang sudah diberikan Tuhan.
2️⃣ Mengapa Fokus pada Anak Sulung Sangat Penting?
a. Mewakili Stagnasi Iman Orang Kristen
Anak sulung berkata:
“Telah bertahun-tahun aku melayani engkau dan tidak pernah kuabaikan perintahmu”(ayat 29).
Namun ia gagal menyadari betapa besar otoritas dan kasih yang sebenarnya sudah ia miliki (ayat 31).
Ini mencerminkan banyak orang Kristen yang:
▪️Merasa cukup dengan rutinitas rohani: ibadah, doa, membaca Alkitab, tetapi enggan melangkah lebih jauh, misalnya: melayani dengan pengorbanan, mengampuni yang menyakiti, atau menghadapi tantangan iman.
▪️Seperti orang Farisi dalam Lukas 15:1-2, mereka merasa hidup kekristenannya sudah benar, tetapi menolak untuk mengalami anugerah Allah yang lebih dalam.
Saya sudah pernah berada dalam fase di mana saya mengalami kesedihan berkepanjangan. Merasa selalu kalah dalam peperangan rohani, selalu menganggap iblis sebagai ancaman besar, dan mengira Tuhan seolah berdiam diri. Namun melalui Lukas 15:31, Tuhan menegur saya langsung:
“Bukan Aku tidak menjawab, tetapi semua itu sudah Aku berikan padamu”
Itulah titik balik saya ketika menyadari kebenaran identitas saya di dalam Kristus. Saya bertekad keluar dari stagnasi, dan menjalani kehidupan ini dengan iman dan damai sejahtera Kristus.
Poin pentingnya:
Fokus pada anak sulung akan menolong kita mengenali stagnasi iman dan mendorong keberanian untuk bertumbuh ke dalam panggilan iman yang sejati.
b. Mengoreksi Pola Pikir Dualisme yang Salah
Anak sulung merasa ayahnya tidak adil dan membandingkan dirinya dengan sang adik (ay. 29-30). Ini mencerminkan pola pikir dualisme yang keliru: seolah-olah kebaikan Allah bisa diimbangi oleh kejahatan lawan.
Di zaman modern ini, ada hal menarik di mana banyak orang Kristen terjebak dalam frasa kata peperangan rohani yang berlebihan. Secara tidak sadar mereka beranggapan bahwa iblis dan Tuhan itu adalah dua kekuatan seimbang yang sedang berperang. Akhirnya mereka hidup dalam ketakutan dan paranoia karena dihantui makna peperangan rohani versi mereka .
Kaitannya dengan Peperangan Rohani:
Ada orang Kristen melihat musibah seperti tertimpa tangga yang menyebabkan kepalanya bocor sebagai serangan iblis. Kemudian sibuk menganggap ini ancaman dan lupa akan kemenangan Kristus yang sudah mengalahkan iblis (Kolose 2:15). Akibatnya, hal ini dapat membuatnya menjadi seperti anak sulung yang stagnan, enggan menikmati sukacita pesta keselamatan, dan terus-menerus merasa belum cukup aman.
3️⃣ Menikmati Sukacita Pesta Bersama Bapa
Ayah dalam perumpamaan ini adalah gambaran hati Allah yang sangat lembut. Ia mengundang:
“ Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali” (ay. 32).
Inilah undangan bagi semua orang percaya:
1️⃣ Masuk ke dalam pesta anugerah.
2️⃣ Hidup dalam identitas sebagai anak, bukan budak.
3️⃣ Memelihara iman yang bertumbuh, bukan sekadar bertahan.
Kristus sudah menang atas kuasa maut dan dosa. Seharusnya ini menjadi kekuatan bahwa kitapun adalah pemenang bersama Kristus. Kemenangan Kristus harus kita rayakan sebagai undangan untuk hidup dalam damai, pengharapan, dan pertumbuhan iman dalam kehidupan kita. Sekarang kita memiliki kepastian bahwa Kristus telah mengalahkan segala kuasa jahat. Tidak ada otoritas, baik rohani maupun duniawi, yang dapat mengatasi kuasa Kristus.
Penutup:
Jangan berhenti seperti anak sulung yang berdiri di luar pesta. Jangan terjebak dalam ketakutan karena terus memikirkan kekuatan iblis yang sudah dikalahkan. Melangkahlah maju dalam kemenangan Kristus, nikmati sukacita pesta bersama Bapa, dan biarkan iman kita bertumbuh di setiap musim kehidupan karena kita adalah umat pemenang di dalam Kristus.
